Minggu, 02 Desember 2012


Risalah Cinta : Jeritan Rindu Seruling

oleh Abi Husna pada 22 November 2012 pukul 9:03 ·
Seruling atau yang disebut Ney dalam bahasa Turki adalah salah satu alat musik utama dan terpenting  bagi pengikut Thariqat Maulawiyah, Thariqah  yang didirikan oleh Syeh Jalaluddin Ar-Rumi. Seruling  dianggap alat utama karena seruling digunakan dalam setiap kegiatan Sema atau di barat dikenal dengan whirling Dharwis dan di Indonesia dikenal dengan tari sufi.

Samâ' bukanlah sembarang tarian, seperti tarian pada umumnya yang dapat dilihat keindahannya dari gerakannya, atau kecantikan penarinya, tetapi  tarian ini yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam in iditempuh.

Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.

Kembali kepada seruling, menurut Syeh Jalaluddin ar-Rumi suara Seruling yang melengking-lengking adalah symbol rintihan karena rindu ingin kembali kepada rumpun bambu dimana dia berasal, walaupun bambu ketika dia sendirian dengan menjadi seruling dia tidak lagi bertempat ditempat yang kotor, dia dapat masuk ke hotel dan rumah rumah mewah. Begitu juga dengan manusia, sebenarnya dalam hati kecilnya, dalam hati nurani yang paling dalam ada jeritan-jeritan kerinduan ingin kembali kepada Tuhannya Allah, SWT, kerena manusia telah lama berpisah dengan “Asalnya” Dzat yang Maha Awal dan Akhir.

Ketika melihat bentuk dari seruling, maka seruling hampir sama dengan tubuh manusia yaitu mempunyai Sembilan lubang. Agar berbunyi dengan merdu selain ditiup maka salah satu Sembilan lubang itu harus bergantian ditutup dab dibuka. Begitu pula pada  tubuh manusia ada Sembilan lubang yang harus dijaga dan dikendalikan, agar manusia tidak hancur, Sembilan lubang itu adalah 2 mata, 2 telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut dan 2 lubang yang ada dibagian bawah. Jika salah satu lubang itu kita tutup dengan menahan sementara keinginannya, maka akan keluar rintihan-rintihan yang kembali kepada Allah, SWT. Seperti ketika kita berpuasa dengan menahan lubang mulut agar tidak melampiaskan hawa nafsunya dengan makan dan minum seperti biasanya.

Begitu juga bentuk seruling yang tengah-tengahnya adalah ruang hampa, mengandung pelajaran bagi manusia, ketika ingin apa yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata hikmah, kata-kata yang bermanfa’at, kata-kata yang menyejukkan, maka hatinya harus dikosongi dari sifat-sifat tercela. Dada manusia harus kosong dari sifat takabur, hasud, drengki dan lain sebagainya. Jika dalam dada manusia penuh dengan sifat-sifat tercela maka yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang menyakitkan, kata-kata yang memerahkan telingan orang yang mendengarkan, kata-kata yang membuat sesak didada bagi orang yang merasakan. Maka didalam kitab Matsnawi, Syeikh Maulana Jalaluddin Rumi secara khusus bercerita tentang seruling ini, cerita tentang seruling ini saya ambil dari catatan Kiai Budi yang berjudul “Serunei Cinta “

Dengarlah! bagaimana seruling ini bisa mengeluhkan dan mengisahkan keterpisahan? baik perempuan maupun laki-laki menangis dan merintih karena mereka telah memotongku dari batang. Aku hanya menginginkan hati yang tercabik karena duka perpisahan, sehingga aku bisa menuturkan penderitaanku. Siapapun yang mengalami perpisahan menunggu penyatuan kembali. Aku sudah berteriak dan mengerang pada orang-orang, aku telah menjadi sahabat karib orang baik maupun orang jahat. Semua orang sudah menjadi sahabatku. Tapi tak satupun yang mencari tahu rahasiaku. Rahasiaku tak lain adalah tangisanku, tapi tak semua mata dan telinga mempunyai cahaya Tuhan. Tubuh dan Ruh tidak saling berbunyi, tapi Ruh tak terlihat pada setiap orang. Suara seruling adalah api bukan udara. Dimana tak ada api, biarlah ia lenyap. Api dari cintalah yang memasuki seruling, antusiasme cintalah yang membuat minuman menjadi berbusa. Seruling adalah teman dan pendamping orang yang terpisah dengan kekasihnya. Nada seruling telah merobek semua nada. Siapa selain seruling yang melihat racun dan penawarnya sekaligus? seruling bercerita tentang jalan yang dipenuhi darah dan kisah cinta majnun. Ia adalah akal, ia adalah rahasia kearifan, lidah tak punya lagi klien kecuali telinga. Hari-hari menjadi lebih panjang dan semakin panjang karena duka kita. Hari-hari berpasangan dengan pembakaran. Biarkan hari berlalu, apalah artinya duka dan derita. O, cinta tanpa kawan hanya kau yang tinggal disini. Kecuali bagi ikan, segalany puas dengan air, bahkan hari-hari orang yang tak punya makanan semakin panjang. Bagaimana orang masih mentah memahami tingkat kematangan ini. Sekian dulu untuk saat ini